Dalam sebuah narasi kuno, Santo Agustinus pernah mengajukan pertanyaan menarik tentang kekuasaan. Alexander Agung bertanya kepada seorang perompak mengapa ia melakukan kejahatan. Sang perompak dengan bangga menjawab bahwa perbuatan buruknya sebanding dengan perusakan yang dilakukan oleh penguasa. Namun, perbedaannya terletak pada skala, di mana perompak diidentifikasi dengan armada kecil, sementara penguasa dengan armada besar.
Agustinus menegaskan bahwa pembeda sejati antara perompak dan penguasa adalah keadilan, bukan hanya dalam aspek hukum formal, tetapi juga dalam etika. Diskusi kontemporer sering kali mempertanyakan keberlanjutan kekuasaan dan apakah pemiliknya memiliki pemahaman akan keadilan dan etika politik.
Dalam periode transisi kekuasaan, terdapat dua fenomena utama yang patut diperhatikan. Pertama, kecenderungan pemilik kekuasaan untuk mempertahankan dan mewariskan kekuasaan dalam lingkaran keluarganya. Kedua, pemilik kekuasaan yang kurang memahami keadilan dan etika politik cenderung tidak mendukung nilai-nilai kebajikan seperti hak asasi manusia dan anti-korupsi.
Tinjauan terkini menghadirkan perdebatan seputar "cawe-cawe" yang diutarakan oleh Presiden Joko Widodo. Istilah ini memiliki makna ganda. Di satu sisi, itu bisa mencerminkan komitmen pemerintah untuk melaksanakan pemilu sesuai konstitusi dengan prinsip luber-jurdil. Namun, mengapa hal ini perlu diungkapkan dalam pertemuan media dan kongres partai?
Dalam konteks demokrasi, mendukung calon dari partai tidak melanggar prinsip. Namun, perlu diperdebatkan bagaimana dukungan ini diberikan. Apakah melalui ide-ide positif selama kampanye, ataukah menggunakan kekuasaan secara langsung? Diskusi terbuka tentang hal ini penting untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Keberhasilan pemilu juga tergantung pada keberlanjutan institusi yang terkait. Peraturan KPU yang merugikan perempuan dan keputusan kontroversial Mahkamah Konstitusi tentang KPK menjadi contoh nyata bagaimana lembaga dapat merusak nilai-nilai demokratis.
Dinamika antara penguasa dan warga semakin terasa. Sementara penguasa merundingkan penerus pembangunan, sebagian warga berjuang untuk menciptakan kompetisi politik yang adil. Misalnya, upaya Koalisi Peduli Keterwakilan Perempuan dalam mengajukan pengujian peraturan KPU ke Mahkamah Agung.
Dengan demikian, pemahaman akan keadilan, etika politik, dan transparansi menjadi kunci dalam menghadapi kompleksitas kekuasaan politik modern di Indonesia. Perdebatan terbuka dan tindakan konkret diperlukan agar nilai-nilai demokratis tetap terjaga.
0 Komentar