Pemilu Mei lalu membawa Recep Tayyip Erdogan kembali sebagai Presiden Turki. Pemilu ini dianggap demokratis, tanpa kekerasan, dan mendapat persetujuan dari berbagai pihak, termasuk media Barat yang kerap kritis terhadap Turki dan Erdogan.
Namun, demokrasi Turki tidak terjadi begitu saja. Menurut Dr. Amr al-Shobaki, seorang kolomnis dari media Saudi al Sharq al Awsat, Turki memerlukan waktu 100 tahun untuk mencapai demokrasi sejak pendirian Republik Turki oleh Mustafa Kemal Ataturk pada 1923. Proses ini diwarnai transformasi panjang, bahkan dengan tragedi berdarah.
Pada awalnya, rezim yang dibentuk oleh Kemal Ataturk menerapkan model negara sekuler radikal, memisahkan agama dari negara dan ruang publik. Jilbab dilarang di institusi-institusi negara, dan pemimpin seperti PM Erdogan sendiri menghadapi kendala karena kebijakan ini.
Represi terhadap kelompok-kelompok Islam konservatif mencapai puncaknya pada kudeta 1960 dan 1980, dijustifikasi sebagai pembelaan terhadap sekularisme. PM Ali Adnan Ertekin Menderes, yang memiliki pendekatan liberal dengan Islam, bahkan dieksekusi pada 1961.
Partai Keselamatan Nasional, sebuah partai Islam, juga menghadapi nasib serupa pada 1980-an, didirikan oleh Necmettin Erbakan. Meskipun Erbakan kembali dengan Partai Kesejahteraan pada 1983, militer kembali mengkudetanya pada 1997 dengan tuduhan ingin "Islamkan" Turki.
Erdogan, belajar dari pengalaman Menderes dan Erbakan, mendirikan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) pada 2001, mengadopsi pendekatan konservatif demokratis. Ia melakukan normalisasi dengan sistem sekuler, memperbolehkan manifestasi keagamaan di ruang publik, sambil menjaga agar agama tidak menjadi ideologi politik.
Demokrasi Turki pada pemilu Mei lalu dapat dilihat sebagai hasil dari transformasi politik selama puluhan tahun. Partai-partai, kelompok-kelompok sekuler dan konservatif, bahkan militer, telah mengalami perubahan sikap. Demikian pula dengan masyarakat yang menerima keberagaman politik dan budaya dalam kerangka sekularitas.
Meskipun demikian, Turki tidak bebas dari masalah, dan polarisasi antara kelompok sekuler dan agama masih ada. Namun, pemilu tersebut mencerminkan perkembangan positif dalam perjalanan demokrasi Turki sepanjang 100 tahun terakhir.
Yang menarik dari perjalanan demokrasi Turki adalah evolusi berbagai aktor politik selama 100 tahun terakhir. Partai Rakyat Republik, yang pada awalnya mendukung militer untuk mengudeta Menderes, sekarang menolak kudeta militer yang gagal pada 2016. Mereka tidak lagi memandang militer sebagai pemain yang seharusnya terlibat dalam urusan politik.
Pentingnya reformasi ekonomi dan politik yang diperkenalkan oleh Turgut Ozal pada 1980-an juga membuka jalan bagi perubahan. Aspek-aspek tertentu dari sistem sekuler berubah, memungkinkan munculnya partai-partai seperti Partai Kesejahteraan dan AKP.
Kelompok konservatif juga telah belajar dari sejarah, tidak lagi mempertentangkan agama dengan sekuler secara eksplisit. Mereka melihat bahwa agama dapat tetap menjadi bagian dari ruang publik sebagai sistem nilai moral dan budaya tanpa harus menjadi ideologi politik eksklusif.
Militer, yang pada masa lalu seringkali terlibat dalam kudeta, telah berubah dan tidak lagi memiliki keterlibatan konstitusional dalam politik. Undang-undang telah direvisi untuk memastikan militer tidak dapat ikut campur dalam urusan politik.
Erdogan dan AKP-nya juga menunjukkan pragmatisme, tidak lagi bersifat seideologis seperti pendahulu mereka. Mereka membangun fondasi yang mendekati sekularitas Eropa, menjauhi model sekuler radikal yang diterapkan pada awal berdirinya Republik Turki.
Pemilu Mei lalu mencerminkan keseluruhan perjalanan demokrasi Turki. Meskipun masih ada masalah dan polarisasi, para aktor politik kini lebih menerima keberagaman politik dan budaya dalam kerangka sekuler. Pemilu tersebut adalah bagian dari evolusi panjang yang membawa Turki menuju sistem demokratis yang semakin matang.
Dalam menghadapi tantangan di masa depan, penting untuk terus memperkuat prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia, dan penghormatan terhadap pluralitas masyarakat. Dengan begitu, Turki dapat terus melangkah maju sebagai negara demokratis yang kuat dan stabil.
0 Komentar