Hadirnya internet membawa kemunculan berbagai perilaku, fenomena, dan istilah baru. Salah satu istilah yang populer di kalangan anak muda adalah "cancel culture". Istilah ini mungkin terdengar asing bagi generasi yang lebih tua, tetapi memiliki makna yang mendalam.
Secara harfiah, cancel culture dapat diterjemahkan sebagai "budaya membatalkan," namun sebenarnya, maknanya jauh lebih kompleks. Istilah ini merujuk pada tindakan membatalkan, memboikot, atau menghukum seseorang atau kelompok di media sosial karena tindakan yang dianggap salah.
Awalnya, fenomena pembatalan lebih sering diarahkan kepada figur publik seperti aktor, artis, penyanyi, penulis terkenal, atau politisi. Namun, saat ini, siapa pun dapat menjadi target cancel culture jika dianggap melakukan tindakan yang kontroversial atau salah.
Alasan di balik cancel culture bervariasi. Pelaku dianggap telah melakukan kesalahan serius dan harus dihukum. Bila pihak berwenang tidak bertindak, masyarakat merasa perlu mengambil inisiatif untuk memberikan sanksi sosial melalui hujatan atau boikot di media sosial. Tujuannya adalah agar orang yang terkena dampak tidak lagi menikmati keistimewaan dan kehilangan status sebagai panutan masyarakat.
Cancel culture dapat menjadi alat yang sangat efektif untuk memboikot dan menghukum seseorang. Beberapa tokoh terkenal internasional telah mengalami konsekuensi serius, seperti kontrak kerja yang tidak diperpanjang atau kesulitan mencari pekerjaan baru akibat tindakan atau opini kontroversial yang diungkapkan.
Namun, terdapat banyak kelemahan dalam cancel culture. Pertama, siapa yang memiliki wewenang untuk mendefinisikan "kesalahan"? Norma yang berlaku dapat bervariasi antara kelompok, dan suatu tindakan yang dianggap benar oleh mayoritas belum tentu benar secara objektif. Hal ini dapat mengarah pada ketidakadilan.
Dalam konteks masyarakat, istilah seperti "pelakor" (perebut laki orang) mencerminkan bias terhadap pandangan seksualitas. Cancel culture dapat mengekspos seseorang pada penghakiman massa berdasarkan klip video atau berita yang mungkin tidak mencerminkan sepenuhnya kebenaran. Ini dapat merusak nama baik seseorang tanpa adanya kepastian.
Penting untuk mempertanyakan keefektifan dan kebaikan cancel culture sebagai bentuk hukuman. Apakah setiap kesalahan harus dihukum dengan cara ini? Apakah kita, sebagai masyarakat, juga dapat dengan mudah menjadi korban dari budaya pembatalan?
Meskipun teknologi memajukan dunia, kita perlu kembali belajar berempati. Dalam era digital yang canggih, di mana interaksi manusia sering terjadi secara virtual, kita harus memastikan bahwa kita tidak kehilangan kepekaan, refleksi, dan empati. Memandang mata seseorang dalam interaksi langsung dapat mendorong kita untuk lebih memikirkan kata-kata yang akan kita ucapkan.
Dalam dunia digital yang serba canggih, kita perlu menemukan keseimbangan antara teknologi dan etika manusiawi. Cancel culture, meskipun dapat menjadi alat untuk menyuarakan keadilan, perlu dievaluasi agar tidak menimbulkan ketidakadilan dan kerugian yang tidak seimbang. Memelihara nilai-nilai empati dan etika adalah kunci untuk menjaga kemanusiaan kita dalam era digital ini.
0 Komentar